Today's Highlights

Articles from Us

Editor Favorites

Latest Updates

Oktober 02, 2024

 


Judul Buku:

GENERASI MILENIAL DAN KOSMETIK HALAL

(Suatu diskursus relasi pasar)

 

 Penulis: Cici Aulia Permata Bunda

Cetakan Pertama,  2024

56 hlm; 13 x 20 cm

Harga: 30.000,-

Buku ini coba mengangkat diskursus relasi antara generasi milenial dan kosmetik halal melalui telaah pasar. Pembaca akan dibawa ke dalam wacana relasi pasar yang kompleks, terutama saat unsur ini disemarakkan dengan aspek agama di dalamnya. Merupakan buku bacaan bagi mereka yang memperhatikan subjek pasar, produk halal dalam hubungannya dengan generasi milenial dalam bentuk wacana diskursif.

Tauhid sebagai Metafisika Sejati Vice Versa - Syihabul Furqon

September 29, 2024
Tauhid sebagai Metafisika Sejati Vice Versa - Syihabul Furqon
Tauhid sebagai Metafisika Sejati Vice Versa - Syihabul Furqon
Qāf-wa al-Qurāni al-majîd
—(Quran: 50: 1-2)

/a/
KITAB PENYEMBUHAN (As-Syifa’/Sufficientia), Ibn Sina (Avicenna): Ilahiah (Metafisika), merupakan kitab magnum opus dalam domain filsafat Islam Peripatetik. Ditulis oleh Seikh Rais dengan corak integrasi pelbagai doktrin hikmah/falsafah (philosophia) dalam arti tradisionalnya. Sebagaimana dalam tradisi filsafat tradisional yang berakar pada nubuat, kitab ini memberikan isbat yang mengikat dengan nuansa proposisi ketat distingsi antara kutub-kutub domain Wujud Wajib dan Wujud Mungkin. Bagaimana Yang Wajib niscaya Esa (Singular), dan bagaimana darinya melimpah Maujudat (eksisten-eksisten) dalam drama kosmik penurunan bertahap dengan seluruh had, daya, akal, serta jiwa sampai pada titik tolak kembali dalam kenaikan bertahap melalui poros gravitasi cinta dan kerinduan atas Yang Sempurna lagi Wajib. Dengan cara saksama juga diterangkan isbat atas nubuat, sekaligus sebagai isyarat bahwa untuk mencapai Yang Metafisis sang metafisikus  (arif/gnostikus) dibebani oleh limitasi dan hanya saluran tradisilah yang dapat menghubungkan antara Yang Metafisis dan metafisikus vice versa.

Dalam banyak kesempatan penerjemah telah mengupayakan suatu tilikan dari dalam dan tidak akan mengulangi isbat apa pun sekali lagi di sini terkait domain ini. Dalam Kitab Penyembuhan (Makalah Pertama) ini dijelaskan alasan Ibn Sina mengajukan istilah “Ilahiah” sebagai pengganti Ma Ba’da Thabi’ah dan bagaimana metafisika sebagai subjek ilmu universal berfusi dengan doktrin. Bauran ini menciptakan apa yang kemudian jadi corak “metafisika sebagai doktrin”. Faktanya, bukan mana lebih dahulu antara doktrin dan metafisika. Dilihat dari arah al-hikmah al-khalidah (philosophia perennis) titik-titik hikmah dalam bentuk apa pun adalah hikmah dan merupakan sikap yang fatal jika dari titik ini orang terjebak pada formalisme tertentu sekalipun formalisme tertentu dibutuhkan di mana-mana bahkan dalam filsafat. 


Filsafat Islam

Filsafat Islam yang hidup, sekali lagi, melalui pena Ibn Sina dalam banyak para arif lain sampai hari ini, telah menyeberangkan doktrin yang dapat direnungkan secara falsafi—dan sebaliknya, menyeberangkan subjek tertentu dari tradisi filsafat untuk jadi jembatan menuju doktrin. Ini pulalah yang menjadi salah satu alasan mengapa metafisika hanya hidup—dalam maknanya yang sejati, menurut al-hikmah al-khalidah—dalam tradisi. Agama, atau agama-agama senantiasa membawa serta, atau mempertahankan metafisika (atau boleh juga sebaliknya metafisika jadi dasar) dalam pelbagai bentuknya. Dalam mode Islam, metafisika hidup sebagai diskursus Ilahiah; dan tentu saja diskursus ini bukan tidak dipermasalahkan kalangan agamawan tertentu. Namun, faktnya, Hikmah Ilahiah menjadi fondasi munculnya mazhab serupa Isyraqiy/Iluminasi (Suhrawardi) yang berestafet terus sampai Hikmah Muta’aliyyah (Shadra) sampai Haji Mula Hadi Sabzawari dua abad silam dan sekarang berlanjut ke tangan hakim-hakim serupa Nasr, Baqir, Al-Attas dan banyak lainnya di Indonesia yang tinggal menunggu waktunya muncul ke permukaan. Dalam mode lain, metafisika hidup dalam Thomisme (barangkali juga Neo-Thomisme), dan banyak hikmah Timur lain hingga yang bernuansa lokal. Metafisika, atau apa pun nama yang mewakili representasi yang tak terperi, bagai embus angin bergerak ke manapun kehendak Sang Napas menggiringnya.

Selama metafisika ada doktrin terjaga, dan selama doktrin terjaga metafisika akan ada. Karena itu, barangkali orang akan berhasil melacak metafisika sekadar sebagai fakta tekstual sampai Aristoteles, tapi keberhasilan itu juga mestinya menghasilkan rongga lain yang menganga lebih besar, yakni metafisika sebagai realitas yang jejaknya ada di mana-mana namun sekaligus tersamar, dan karena sifat samarnya itu entah berapa banyak yang luput dari perhatian. Sekalipun demikian, karena sifat subjek ini bersifat kulli/universal, keterhubungannya dengan jejak metafisika yang lain senantiasa tersedia. 
Metafisika mestilah integral, sebab menapaki satu jalan (metafisis) adalah menapaki seluruh jalan, sebagaimana benar menyelamatkan satu manusia sama bernilainya dengan menyelamatkan seluruh manusia. Mengatakan bahwa pandangan seperti ini adalah sejenis sinkretisme tidak lain menunjukkan kepandiran metafisis sendiri. Dari arah sini, substansi-substansi takkan tertukar dengan aksiden dan pada puncaknya simbiosis mahiyah/kuiditas dan wujud/eksistensi dalam mode paling pastinya dapat menerangi (sebagaimana judul kitab ini yang adalah Penyembuhan) bagi kebingungan asali manusia akan asal-usul yang adalah Sang Mutlak yang Wajib yang Wujud dan Singular. Lantas apa yang menyebabkan manusia mengidap ketidakmampuan (impotensi) dalam menangkap realitas esensial jika bukan penyangkalan-penyangkalannya sendiri atas kemampuan dan kapasitas dirinya sendiri? Sampai di sini, kalam apa pun semestinya telah memadai.

/z/
Ditinjau dari dalam, metafisika pada dirinya sendiri adalah ‘sesuatu yang tak terbahasakan’ atau menggunakan istilah yang disepakati Schuon dan Guenon: tak manifes (unmanifest). Artinya diskursus ini telah selesai bahkan sebelum dimulai. Tapi tidak jika dilihat dari realitas yang bergerak dan kontingen. Dimensi ruang dan waktu membawa senantiasa alusi pada asal-usul dan melacak ini artinya ‘mundur ke belakang’ dan ‘melacak prinsip’. Mundur dan mencari prinsip akan membawa orang pada, sekali lagi, metafisika, atau sekurang-kurangnya tapal batas antara yang fisik beserta seluruh derivasi ruang dan waktunya dengan yang melampaui semua manifes maujudat ini.

Sekarang jika ditinjau kembali, metafisika mestinya tidak dapat secara persis atau tidak akan pernah cukup membahasakan yang metafisis pada dirinya sendiri yang diselimuti oleh misteri mutlak. Misteri mutlak ini, saat dilacak dengan perangkat yang mumkin, atau yang kontingen, membawa orang pada koordinat yang disebut sebagai ‘wujud’. Anatomi wujud/ada/eksistensi merupakan tapal batas antara yang metafisis dalam domain universalnya dengan penciptaan realitas eksternal. Inilah kontak antara yang tak manifes dengan yang manifes dan para Arif, Hakim serta Mutakallim berlomba menarik dari satu titik diakritik—yang adalah wujud—ke pelbagai manifestasi eksternal. Sekaligus pada saat yang sama meninggalkan misteri total Wujud Wajib/Eksistensi Niscaya/Wujud Niscaya pada dirinya sendiri. Wujud Niscaya pada dirinya sendiri, bagaimanapun, tidak bisa tidak lengkap dan pada akhirnya tidak akan pernah memadai diberi nisbat kecuali isbat yang mengikat bahwa Ia singular (Esa), tak tepermanai, dan bahasa bahkan silogisme takkan pernah memadai mencapainya. Ini adalah ranah yang hanya sedikit orang diberi keberkahan dapat memahami dengan cara ketidakmampuannya untuk memahami. Ini pula ranah yang mana agama-agama banyak bicarakan sebab sifatnya yang mutlak dan merupakan asal-usul: juga merupakan ranah kembali yang tak dapat dielakkan. Quran menyinggung ini sebagai: inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.

Di tingkat ontologis, lebih tepatnya, saat Wujud Wajib ini diturunkan ke dalam kerangka manifestasi kosmologis, secara otomatis ada paradoks yang menyertai. Wujud dibedakan dari Kuiditas (mahiyyah) sejauh dalam kategori penunjuk. Antara kedua prinsip ini, perdebatan panjang dapat ditarik: (a) mereka yang menegaskan asas Wujud, dan (b) mereke yang menegaskan asas Kuiditas. Pada tingkat realitas eksternal, kedua distingsi ini sangat jelas; yang mana kejelasannya muncul dari limitasi materi. Siapapun yang mengatakan Kuda secara otomatis dalam waham orang itu terimprintasi dua hal: “sifat-sifat kategoris yang membuat kuda itu kuda dan beda dengan yang lain” dan sekaligus “wujud jisim kuda”. Di sini tidak ada hambatan berarti. Namun lain soal jika orang, saat mencari asas dan asal-usul realitas dan berujung pada satu asumsi bahwa ada satu hal, mestilah hal itu wujud/ada, dan mestilah sesuatu itu adalah prinsip untuk semua. Namun dalam pelacakan teleologis regresif—sejak bahwa realitas ditangkap sebagai sehimpun aksiden-aksiden kontinu yang mestilah aksiden-aksiden ini bersumber dari substansi sebab tertentu (ar: jauhar-arad)—orang harus menegaskan distingsi yang mutlak yang ditunjuk sebagai Wujud Wajib di satu sisi dan wujud nisbi atau wujud mungkin.

Wujud Wajib, saat coba dikategorikan, mesti tidak memiliki kategori; demikian pula saat dia dimasukkan dalam satu himpun genus tertentu tidak akan bisa, atau apalagi dikelompokkan berdasarkan spesies. Sebab saat semua upaya kategori ini dilakukan, semuanya akan berujung pada paradoks yang mustahil. Dengan demikian Wujud Wajib nirkategori. Namun apa yang dapat mendefinisikan dirinya? Kediaannya. Dalam hal ini disebut kuiditas (mahiyyah). Kembali pada soal prinsip. Jika Wujud Wajib mestilah bersanding dengan Kuiditasnya, maka di antara dua ini mana yang prinsip? Karena menentukan ini orang akan dibawa pada penetapan prioritas dan posterioritas dengan implikasinya masing-masing.

Filsafat Islam

Ibn Sina, sekalipun banyak mendasarkan filsafat/hikmahnya pada anatomi wujud; bagaimanapun mempercayai bahwa suatu wujud tidak akan pernah merupakan wujud tanpa kuiditasnya. Ada semacam dukungan dalam pandangan Ibn Sina pada keasasian kuiditas. Bagaimanapun pandangan ini sejalan dengan banyak kalangan lain seperti Suhrawardi dan bahkan kalangan Mutakallim tertentu. Tapi pandangan ini bukan tanpa hambatan. Terutama, jika kembali pada soal di atas, bahwa saat Wujud pada dirinya sendiri ditangkap waham seseorang, perbedaan antara wujud pada dirinya sendiri dengan kuditasnya menjadi kabur. Wujud pada dirinya sendiri menjadi semata objek makulat dan karena itu terbuka pada kekaburan yang coba ditangkap fakultas epistemologi manusia. Distingsinya menjadi sekabur apakah di antara wujud dan kuiditas bisa dipisahkan sejelas perbedaan antara wujud dan kuiditas kuda seperti contoh di atas, atau justru tidak ada perbedaan antara wujud dan kuiditasnya.
Ditinjau secara metafisis murni, tidak masalah mana yang jadi prinsip sejak bahwa wujud dan kuiditas merupakan salah satu term dari banyak term yang karena sifat term itu sendiri membatasi akan tidak memadai dalam menunjuk secara pasti apa yang hendak ditunjuknya yang adalah prinsip segala (mumkin al-kull) yang juga berarti Ia Yang Tak Terperi. Sekalipun demikian dalam diskursus filsafat Islam, menunjuk secara proposisional wujud atau mahiyah sama pentingnya dengan memberikan markah pada jalan. Tentu saja tidak ada masalah di ranah metafisis. Pasalnya saat realitas itu harus diperikan, maka itu harus diperikan dengan isbat paling kuat dan proposisi paling berisi yang tidak meninggalkan keraguan. Upaya ini merupakan jalan burhan. Saat realitas itu diperikan, maka pemeriannya sama pentingnya dengan memberi marka pada jalan; rambu-rambu harus sejelas dan selaras bentang jalan, jika tidak maka bukan saja orang tidak akan menemukan isyarat yang jelas dari realitas segala, sumbu segala realitas, melainkan akan terlempar dari pusat realitas dan pada gilirannya akan menganggap tidak pernah ada jalan sebagaimana mulai lazim bahwa tidak pernah ada metafisika, atau agama yang memuat markah ke arah metafisika, atau bahkan Tuhan.

Tak kalah menarik untuk dicatat, dari sisi metafisis, karena tidak ada distingsi substansi dan aksiden, maka tidak ada aksiden-aksiden dan substansi-substansi. Di balik itu potensi jadi tiada dan antara satu akibat dengan sebabnya akan terputus. Orang, di titik ini dapat mengatakan dari sisi metafisis tidak pernah ada aksiden—atau bahkan kebetulan. Jika semua aksiden tidak ada yang tersisa adalah semuanya dalam realitas eksternal adalah ‘keselesaian’ dalam ‘proses’ atau ‘proses’ yang sesungguhnya ‘telah selesai’. Dalam Islam, salah satu inti dari tauhid tampak dari sikap tawakal. Suatu etika religius yang menandai hubungan antara manusia yang nisbi dengan Allah sebagai Yang Mutlak. […]


Penulis : Syihabul Furqon
Darmaraja-Sumedang
Rabi’u Tsaniah 1445
Sumedang 2023

Diskursus Jurnalisme Inklusif

September 29, 2024
 
Judul :  
Diskursus Jurnalisme Inklusif
Penulis : Paridah Napilah 
Editor : Neng Hannah
ISBN : -
Buku Softcover 14x20cm
V x 150 hlm
Harga : IDR 55.000,-

PESAN SEKARANG?
>> KLIK DISINI <<

Ini adalah buku yang menyelami konsep jurnalisme yang mengutamakan keberagaman suara dan representasi dalam pemberitaan. Dalam era informasi yang semakin kompleks, buku ini mengajak pembaca untuk memahami pentingnya jurnalisme yang tidak hanya akurat, tetapi juga adil dan inklusif.
Melalui serangkaian analisis, penulis menggali tantangan yang dihadapi media dalam menciptakan ruang bagi berbagai perspektif, termasuk suara kelompok marginal dan minoritas. Buku ini juga menyoroti praktik terbaik serta contoh nyata dari jurnalis dan organisasi media yang berhasil menerapkan prinsip-prinsip inklusi dalam peliputan mereka.

Dengan pendekatan interdisipliner, buku ini dapat menjadi panduan bagi jurnalis, akademisi, dan pembaca umum yang ingin memahami bagaimana media dapat berkontribusi pada masyarakat yang lebih adil dan setara. Dilengkapi dengan wawancara dan studi kasus, buku ini menjadi sumber inspirasi bagi mereka yang berkomitmen untuk memajukan jurnalisme yang lebih responsif dan humanis.

Untuk mendapatkan buku ini, silahkan pesan dengan mengklik tombol dibawah atau tombol diatas, Terima Kasih.


Harmoni Dalam Keberagaman - Jurnalisme Inklusif Untuk Kebangsaan dan Kesetaraan

Agustus 12, 2024
 
Judul :  
Harmoni Dalam Keberagaman - Jurnalisme Inklusif Untuk Kebangsaan dan Kesetaraan
Penulis : Inklusi PW Fatayat NU Jawa Barat
ISBN : -
Buku Softcover 70 hlm, 14x21 Cm
Harga : IDR 55.000,-

PESAN SEKARANG?
>> KLIK DISINI <<

Buku ini menyajikan eksplorasi mendalam mengenai peran jurnalisme inklusif dalam membangun harmoni dalam keragaman dan memajukan kebangsaan serta kesetaraan. Melalui berbagai studi kasus dan contoh praktis, penulis menunjukkan bagaimana media yang adil dan representatif dapat menghubungkan berbagai kelompok sosial, mengurangi stereotip, dan memperkuat dialog antarindividu dari latar belakang yang berbeda. 

Buku ini menjadi panduan penting bagi jurnalis, akademisi, dan pembaca umum dalam memahami bagaimana pemberitaan yang inklusif dapat berkontribusi pada masyarakat yang lebih egaliter dan harmonis, serta memotivasi pembaca untuk berperan aktif dalam menciptakan dunia yang lebih adil.

Untuk mendapatkan buku ini, silahkan pesan dengan mengklik tombol dibawah atau tombol diatas, Terima Kasih.


Generasi Milenial Dan Kosmetik Halal (Suatu Diskursus Relasi Pasar)

Agustus 08, 2024
Judul :  
Generasi Milenial Dan Kosmetik Halal (Suatu Diskursus Relasi Pasar)
Penulis : Cici Aulia Permata Bunda (dkk)
ISBN : -
Buku Softcover 110. hlm, 14x 20 Cm
Harga : IDR 65.000,-

PESAN SEKARANG?
>> KLIK DISINI <<

Dalam situasi pasar yang semakin bergerak ke arah kesadaran global, betapa penting untuk memetakan sejauh mana pengaruh kesadaran pasar atas produk yang ramah lingkungan. Bagaimanapun kerap terjadi ketegangan signifikan antara pasar global dan kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan. Secara spesifik kesadaran lingkungan dapat berarti pemilihan produk dalam kategori organik dan dikembangkan berdasarkan asas-asas kelestarian lingkungan, asas keaslian dan minimnya campur tangan manusia yang bersifat tambahan berlebihan dalam pengolahan suatu produk. Pentingnya telaah demikian itu hari ini semakin mendesak. Tetutama di kalangan anak muda. 

Di sisi lain, agama memberikan peran tambahan dalam mendorong kesadaran pasar berjenis baru. Suatu komoditas dalam kategori agama harus memiliki ciri khusus, dalam kasus Islam, mesti halal. Artinya tiga aspek baik pasar, pengaruh agama dan kesadaran akan produk ramah lingkungan semakin mendesak untuk dipetakan secara keilmuan. Karena itu, dalam telaah ini penulis coba menyigi dan menyiangi aspek-aspek yang sedianya saling menopang dan atau malah saling bertolak belakang. Besar harapan penulis supaya telaah ini menjadi pertimbangan bagi khalayak luas, baik dari kalangan akademisi maupun perorangan, untuk menjadi pedoman dalam leksikon ekonomi, agama dan terkhusus segmentasi kesadaran hijau.

Untuk mendapatkan buku ini, silahkan pesan dengan mengklik tombol dibawah atau tombol diatas, Terima Kasih.


Pembelajaran Berbasis Proyek Mata Kuliah Wajib Kurikulum Di Perguruan Tinggi

Juni 15, 2024
Judul :  Pembelajaran Berbasis Proyek Mata Kuliah Wajib Kurikulum Di Perguruan Tinggi
Penulis : Anwar Taufik Rakhmat, M.Pd. Et al
ISBN : -
Harga : IDR 50.000,-

PESAN SEKARANG?
>> KLIK DISINI <<

Hadirnya Buku ini merupakan salah satu bukti nyata dalam upaya penguatan dan pengembangan pembelajaran pada Mata Kuliah Wajib Kurikulum (MKWK) di Perguruan Tinggi. Mata Kuliah Wajib Kurikulum merupakan bagian kurikulum perguruan tinggi yang wajib diberikan kepada mahasiswa. Untuk menghasilkan hasil pembelajaran yang bermakna dan mendorong kepada hasil pembelajaran yang optimal diperlukan segenap komponen pembelajaran yang mendorong potensi mahasiswa diaktualisasikan dengan baik dan diarahkan kepada peningkatan karakter serta kompetensi yang dibutuhkan mahasiswa. Buku Pembelajaran Mata Kuliah Wajib Kurikulum (MKWK) berbasis proyek merupakan salah satu buku yang berisi model pembelajaran yang membimbing mahasiswa agar memiliki kepekaan terhadap persoalan yang ada di sekitar mereka dan mampu mengidentifikasinya, menganalisis dan menyintesis, kemudian berupaya mencari solusi terhadap persoalan yang dihadapinya. 

Dengan diawali pembekalan terhadap literasi atau materi kuliah yang cukup, mahasiswa diharapkan mampu mendapatkan pengalaman pembelajaran yang bermakna dan berdampak pada kognisi, dan afeksi mahasiswa. Buku ini bisa digunakan sebagai panduan bagi dosen dan mahasiswa untuk bisa menjalankan aktivitas perkuliahan Mata Kuliah Wajib Kurikulum berbasis proyek. pada buku 3 ini dosen dan mahasiswa dipandu untuk bisa menjalankan perkuliahan dengan memanfaatkan semua sumber pembelajaran yang ada, dengan tema yang disediakan mahasiswa menentukan topik dan objek yang kemudian dijadikan proyek bersama kelompok. Pada prosesnya proyek kelompok bisa berkolaborasi dari dua mata kuliah MKWK yang dilakukan secara bersama-sama, baik Mata Kuliah Agama, Bahasa Indonesia, Pancasila maupun Kewarganegaraan. Buku Pembelajaran MKWK berbasis proyek ini berisi tentang konsep umum tentang Mata Kuliah Wajib Kurikulum, Pembelajaran MKWK berbasis proyek, materi pokok pembelajaran, tema dan topik Proyek, langkah dan prosedur proyek, asesmen, dan Rencana Pembelajaran Semester (RPS)

Untuk mendapatkan buku ini, silahkan pesan dengan mengklik tombol dibawah atau tombol diatas, Terima Kasih.


Agama Pas

Oktober 19, 2023
Agama Pas
Frithjof Schuon

Barangsiapa bertindak keterlaluan, pasti akan menyimpang dari kebenaran
—Imam Ali, Karramallah Wajhah

AGAMA—terlebih agama yang dikenal dan dikukuhkan manusia sekarang—datang dari dua arah ranah: langit dan bumi. Dari dua arah dan ranah ini subjek dan objek silih berganti. Ada kalanya subjeknya Tuhan dan objeknya manusia—atau subjeknya manusia dan objeknya Tuhan. Kedua hal ini berpengaruh pada satu persepsi mengenai sentrisme: entah itu antroposentris atau logosentris. Karenanaya jika logika yang digunakan oposisi biner, maka implikasi yang mengikutinya juga akan mengkutub di satu bilah.

Dalam skema logosentris, yang menjadi sentral adalah Tuhan. Agama dimaksudkan semata-mata untuk meraih singgasana keilahian semata. Jikapun yurisprudensi ditata dan hukum diatur semata-mata untuk memistari laku manusia. Segala sesuatu yang tak pas dengan kehendak yurisprudensi itu dipapakkan sedemikian rupa. Manusia dengan segala diversitasnya—baik secara mental dan spiritual—adalah nista adanya: produk sebuah tingkatan eksistensi rendah. Oleh karena itu, manusia adalah abdi Ilahi. Titik! Agama adalah produk baku, padat dan siapguna.

Lain hal jika antroposentris. Pusat adalah manusia, sebab itu Agama turun atau timbul ke permukaan disebabkan oleh urgensitas manusia. Agama adalah jawaban dari kebutuhan manusia pada yang Ilahi. Jika selama ini manusia banyak menemukan di lingkungannya sebuah kaos, berupa ketaktertataan, maka ia akan meninjau ke luar dirinya dan mencari kosmos. Artinya, manusia merindukan sebuah ekuilibrium kosmologis yang melampaui kehidupannya yang terlampau kaos.

Tapi titik pusat adalah manusia. Jika kemudian agama ada—sejauh tatapan antroposentris ini—maka ia hanya sebuah garis yang tak tegak lurus. Jika ada garis dan batas, maka ia harus sesuai dengan apa maunya manusia. Di sini agama berdinamika dengan semua perubahan pada manusia. Demikian pula dengan yurisprudensi, terus diubahsuai. Tidak hanya sebatas itu, Tuhan sebagai satu cita-cita luhur direkonstruksi, atau bila perlu didekonstruksi. Semakin reduktif Tuhan, semakin subtil manusia bisa mengenalnya.

Agama Pas
Agama-Agama


Kemudian implikasi dari kedua pengkutuban ini akan tampak pada bagaimana agama bekerja sebagai sebuah tata dan cara dalam kehidupan. Jika kita meninjau ujung dari kutub logosentris, kita akan menemukan tatanan sosial yang baku, kaku dan tak pandang bulu. Bagaimanapun manusia tak bisa bernegosiasi mengenai tatanan Ilahiyah yang datang sebagai hukum. Dari jihat ini kita akan menemukan darah dialirkan demi agama, demi Ia yang singgasana-Nya hanya bisa dijangkau oleh pekik pada liyan, oleh seruan yang kadang hanya bisa diterjemahkan oleh gada, hunus dan berangus. Di titik ini, agama jadi sesuatu yang semena-mena.

Sedangkan ujung dari antroposentris, kita akan menemukan bahwa agama adalah alat. Sifat sebuah alat tak lebih unggul dari penggunanya: manusia. Manusia mencari Tuhan, tapi sejak semula ia menuhankan dirinya sendiri dengan kemutlakan relatif. Agama, karenanya menjadi relatif, juga Tuhan dan hukum yang menyertainya. Manusia mengangankan sebuah kosmos yang dirumuskan sejak semula oleh kaos. Titik beku (dead lock) dari kutub ini adalah sebuah fenomena sahihnya segala hal. Desakralisasi pada tatanan Ilahi yang—tentu saja tak tepermanai—adalah tanda fenomena sosialnya.

Kekeramatan, khidmat, dan kerendahdirian pada keindahan (beauty), kontemplasi dan kesabaran, sebagai gerbang dan Ibu bagi kelahiran manusia ke dunia Ilahi yang kosmos terkikis dan putus. Di hadapan mata seorang antroposentris naif, waktu adalah segala-galanya. Simultanitas tak terbatas dari waktu menyegerakan dan menggerakkan manusia untuk berlaku produktif di hadapan dunia-realitas. Di titik ini, rahim agama yang di dalamnya terdapat kesakralan yang di antaranya: waktu suci, ruang suci, tindakan suci dan ucapan suci—boyak dan koyak. Dari ranah ini tak akan terlahir tatanan realitas yang solid, karena agama adalah angan-angan.

Kedua paradoks yang penulis kemukakan di atas adalah wajah agama sekarang ini. Kebingungan dasariah ini sudah tak lagi wajar, karena menyita aspek fisik lebih banyak dan perhatian lebih dari setiap manusia. Di sini tak ada pengecualian bahkan bagi mereka yang tak masuk dalam kategori beragama. Bagaimanapun apatisme dan syakwasangka akan memperrumit kejernihan yang musti ditempuh demi sebuah ekuilibrium: berkenaan dengan dua paradoks besar ini. Spiritualitas yang diharapkan berperan sebagai jantung pertemuan antara Tuhan dan manusia sedang diambang punah. Hal ini disebabkan oleh deras dan semakin mengkristalnya dua kutub di atas tadi. Agama ramah selalu dibantah oleh agama marah. Manusia juga selalu terjebak oleh kategori yang dibuatnya sendiri. Tapi juga kita tak selalu setuju dengan arus posmodern yang serba relatif itu.

Agaknya, persoalan kita di zaman ini bukan perkara bagaimana agama jadi ramah, atau manusia jadi tak berlebihan. Melainkan sebuah masa dimana setiap orang musti mencari satu kata “pas” yang bukan semata-mata relatif dan karenanya tiap orang jadi benar. Tapi sebuah “pas” yang teduh dimana manusia bisa bernaung, entah dari kesemena-menaan agama dan atau dari manusia itu sendiri. Yakni sebuah “pas” yang telah ada sejak permulaan jagat tercipta sebagaimana QS: 25: 2. Dimana “pas” ini adalah, sebagai apa yang oleh Frithjof Schuon katakan: pertemuan antara Tuhan sebagaimana adanya, dengan manusia sebagaimana adanya.[]

Penulis : Syihabul Furqon
Tahun : 2016

Don Quixote, Buku dan Gairah Edan

Oktober 19, 2023

 

Don Quixote, Buku dan Gairah Edan
Don Quixote

Cerita Don Quixote - Di abad-abad silam, sahibul hikayat Seyyed Ahmad Benengeli mengisahkan perjalanan kekesatriaan yang luhur—atau bisa kita anggap konyol dan sia-sia—yang secara baik diteruskan dan dicatat oleh Miguel De Cervantes. Epik majenun-imajinatif Petualangan Don Quixote tentu saja bukan hanya sekedar cerita sebelum tidur bagi anak-anak—bahwa sejatinya buku merupakan pemantik bagi imajinasi. Lebih dari itu, petualangan yang ditempuh Quixote adalah kesedihan (seperti diungkapkan Goenawan Mohammad) dan juga perayaan atau tepatnya karnaval kegilaan. Orang-orang di zaman ini akan mengidentifikasinya sebagai gejala Posmodernisme. Yakni suatu sikap dimana yang banal dirayakan tapi sekaligus simptom skizofrenik juga ikut meluap. Anehnya Quixote tak melulu berada dalam waham dan syakwasangka. Ia memegang satu pendirian unik, jika tidak dikatakan iman. Dalam hal ini iman bagi Don Quixote de La Mancha adalah ketulusan hati, rasa welas, cinta yang tulus, dan derma, juga ikhlas pada takdir kesatria. 

Pun tak ada yang menyangkal bahwa dalam hal-hal tertentu kegilaannya mirip Majenun pada Layla atau Gibran pada Salma, atau Sandip pada Bimala: atau mungkin justru bermula dari satu akar tradisi Benengeli sendiri. Yang pasti, Don Quixote merupakan representasi dari kematian (death) dan kehidupan kembali (resurrection). Yang mati di hikayat itu adalah kemandekan yang juga berarti kebuntuan. Sedangkan yang bangkit adalah kebebasan dan keliaran eksistensial. 

Dalam diri manusia tentu kia mengenal kematian eksistensial dimana tubuh tak lagi dialiri darah dan ditinggal nyawa. Tapi ada mati yang lain, yakni kemandekan. Yaitu fase dimana tak ada lagi sesuatu yang menarik untuk dijalani. Realitas monoton dan itu-itu saja, tak ada transformasi apa lagi revolusi. Laku sehari-hari kehilangan ruh dan girahnya. Imajinasi padam sama sekali dan manusia berada pada level kegelapan.

Karena itu wahyu perlu turun (revelation). Dalam hikayat Don Quixote wahyu tentu bukan kepak sayap malaikat Jibril yang memekakan telinga. Wahyu yang diturunkan Tuhan pada Don Quixote adalah tanda dan kelakar. Tak dipungkiri bahwa manusia sesekali perlu untuk menertawakan parilakunya, tindakannya. Don Quixote berdiri dan menari di atas panggung itu. Hikayatnya sendiri adalah wahyu bagi manusia yang sejatinya diliputi tindakan gawal. Karena Tuhan adalah kasih itu sendiri maka ia mengetengahkan Don Quixote untuk  menjadi salah satu tanda dan suar. Maksudnya adalah bahwa hanya dalam Iman yang seliar Don Quixote lah kita akan menemukan tualang yang hidup, berdarah dan berdaging. Dalam bahasa kita sekarang: petualangan yang greget. Maka, Don Quixote de la Mancha menghidupkan apa yang sebelumnya mati: imajinasi, kejutan, gairah, spontanitas, cinta, petualangan dan buku (yang dianggap terkutuk) tentu saja. Jika dilihat dari kacamata orang biasa (baca: waras), tak ada yang baru dalam tindakan segila Don Quixote. Tapi jika kita masuk sedikit ke dalam, Don Quixote dengan tindakannya menawarkan satu perspektif baru. Yakni melihat segalanya dengan kacamata proses kebaruan. Setiap hal adalah baru dan karenanya tindakannya juga baru: meski tujuannya sama.

Don Quixote, Buku dan Gairah Edan
Don Quixote

Tapi bisakah kita membayangkan bagaimana Don Quixote berpetualang tanpa Sancho dan kudanya, Rozinante yang gagah? Hikayat itu dengan jeli menyematkan Sancho dalam lakon Quixote. Bukan untuk apa-apa selain melengkapi kegagahan dan kegarangan tekad Don Quixote dengan kecintaan Sancho pada kedamaian. Saya akan menukil satu cuplikan bagaimana Don Quixote  menghendaki sikap keberanian dan Sancho menampilkan sikap kasih:
“Tuan, aku bukan orang yang suka berperang, seperti anda, tetapi orang yang cinta damai, mungkin seperti seorang suami dan ayah yang baik. Mohon catat itu dari sekarang bahwa aku akan memaafkan semua orang, yang telah atau akan, menjadi musuh-musuhku, apakah mereka bangsawan, raja, atau orang biasa.”

Don Quixot gerah mendengar semua ini. “Apa kau pengecut! Bagaimana kau bisa memimpin sebuah pulau atau karajaan? Seorang pemimpin besar harus tidak takut pada apa atau siapa pun.”
 
Dari sana kita melihat bahwa memang kedua petualang itu saling melengkapi. Dimana yang satu bersemangat untuk mendobrak ke sana dan ke mari sedang yang yang satunya lagi menenangkan dobrakan itu. Terlepas dari kenyataan bahwa Don Quixote gila dan Sancho mengetahui kegilaannya, Sancho tetap mendampingi Don Quixote. Pertanyaan demi pertanyaan muncul jika kita mengikuti cerita ini, karena memang itu tujuannya: membangkitkan pertanyaan. Hikayat ini bukan saja mengemukakan gagasan yang nyeleneh, tapi juga menularkan imajinasi itu sendiri.

Di awal cerita, kita akan menemukan bahwa seolah-olah imajinasi adalah sesuatu yang terkutuk dan mengantarkan pada kegilaan dan penderitaan. Kemuakan pada narasi awal cerita ini mungkin dialami para pembaca dan memutuskan untuk berhenti. Karena buat apa, toh isi ceritanya hanya kelakar dan olok-olok pada hidup yang teratur, tenang, meski tanpa gairah sama sekali. Kesabaran dibutuhkan untuk membaca hikayat konyol ini—tentu saja dengan sejumlah imajinasi yang aktif dan liar untuk mengimbangi kegilaan kisah petualangan Don Quixote sendiri.

“Hidup memang selimbur kejutan.” Demikian Sancho berujar pada Don Quixote. Dan kita, pembaca, juga menemukan cerita itu meledak-ledak penuh kejutan, penuh dengan semangat. Ada yang coba dihidupkan dari diri manusia, dibangkitkan. Menghidupkan sesuatu yang mati bukan perkara mudah, darah hanya menyatu dengan darah. Karenanya kisah berdarah-darah ditonjolkan. Pertanyaan lagi; apa yang mati dalam hikayat ini selain realitas yang menjadi banal dan tanpa gairah? Jawabannya tergeletak begitu saja ketika kita masuk dalam cerita: buku. Kita tahu bahwa buku bukan hanya benda mati dalam kisah ini, tapi justru yang sangat berperan dalam keseluruhan cerita. Sebuah buku adalah gerbang dunia, kata beberapa orang. Di dalamnya termaktub lebih dari selaksa pengetahuan, lebih dari tumpukan asumsi dan lebih dari sekedar imajinasi.

Jika dikatakan bahwa sebuah buku memiliki realitasnya sendiri. Ya, Don Quixote menampilkan itu. Jika dikatakan bahwa buku merupakan sumber pengetahuan—bahkan membentuk sikap. Jawabnya, ya, karena Don Quixote menunjukkan itu. Jika dikatakan bahwa buku juga terkutuk karena mengajarkan manusia untuk berimajinasi liar, mencoba hal yang baru. Jawabannya tentu, ya, Don Quixote hidup dengan itu semua. Di titik ini perlu kita kembali pada pengarang, Seyyed Ahmad atau pada Miguel De Cervantes.

Hikayat ini, yang terpublikasi secara luas pada paruh abad pertengahan atau awal Renaisans menyuarakan pekik yang tajam pada revolusi. The Dark Age dalam hal ini menjadi momok dimana kemandegan terjadi bahkan dalam ranah-ranah spiritualitas. “Takhayul,” seperti dikatakan penyair Renaisans Francis; Voltaire mengungkapkan bahwa sedang “membakar dunia.” Bahwa tak ada celah dimana hidup manusia tanpa takhayul. Sialnya, takhayul ini tak mentransendensi pikiran ke ranah yang lebih ningrat, lebih tinggi. Ia meluluhlantakkan manusia menjadi makhluk pendamba kepatuhan buta, taklid yang tak asyik.

Di zaman itu, agama adalah kekuasaan. Spiritualitasnya hilang oleh ketamakan dan kehendak yang mencengkeram. Terkahir dari kampiun gila zaman tegang itu adalah Nietzsche yang segila Don Quixote dengan lakonnya yang gagah membakar berhala di alun-alun pasar: Zarathustra. Kelak, Zarathustra coba dibangkitkan dan dikembalikan ke gelanggang pasar oleh Herman Hesse di awal abad 20 demi mengingat satu hal yang luput dari manusia: bangkitnya tragedi yang sia-sia akibat perang dunia dan terdegradasinya manusia sedemikian rupa.

Oleh karena itu tak syak lagi bahwa Don Quixote sedang mengupayakan kesadaran dan iman. Kita juga melihat, cintanya Quixote pada Dulcienna melimpah tak bersebab tak berpangkal. Cintanya itu juga merupakan iman yang pancang pada pengabdian: atau kegaiban yang purna. Sedang kegilaannya mengiktibarkan pada kita bahwa hidup manusia bukan hanya sekedar hari-hari yang berulang tanpa gairah, tanpa isi.

Jika kisah ini dikontekstualisasi dengan realitas hari ini, bagaimana jadinya? Jika kemengulangan hari-hari sudah lagi tanpa ruh, jika iman telah lagi tanggal satu-satu, jika buku tak lagi seksi dan menarik untuk ditelaah dan dibaca, jika tak ada lagi penghayatan, wahyu menjadi perebutan kepentingan, cinta tak berpangkal pada spiritualitas dan pembebasan—singkatnya realitas banal tanpa kedalaman—apa yang harus kita lakukan? Saya sarankan kita perlu sedikit meniru Don Quixote De La Mancha.[]

Pernah Dimuat Di : Radar Sumedang.
Penulis : Syihabul Furqon

Ibn Sina : Kitab Penyembuhan Ilahiah

Oktober 19, 2023
Judul :  Kitab Penyembuhan Ilahiah 
Penulis : Ibn Sina
Penerjemah : Syihabul Furqon
ISBN : -
Harga : IDR 100.000,- 

PESAN SEKARANG?
>> KLIK DISINI <<

KITAB PENYEMBUHAN (As-Syifa’/Sufficientia), Ibn Sina (Avicenna): Ilahiah (Metafisika), merupakan kitab magnum opus dalam domain filsafat Islam Peripatetik. Ditulis oleh Seikh Rais dengan corak integrasi pelbagai doktrin hikmah/falsafah (philosophia) dalam arti tradisionalnya. Sebagaimana dalam tradisi filsafat tradisional yang berakar pada nubuat, kitab ini memberikan isbat yang mengikat dengan nuansa proposisi ketat distingsi antara kutub-kutub domain Wujud Wajib dan Wujud Mungkin. Bagaimana Yang Wajib niscaya Esa (Singular), dan bagaimana darinya melimpah Maujudat (eksisten-eksisten) dalam drama kosmik penurunan bertahap dengan seluruh had, daya, akal, serta jiwa sampai pada titik tolak kembali dalam kenaikan bertahap melalui poros gravitasi cinta dan kerinduan atas Yang Sempurna lagi Wajib. Dengan cara saksama juga diterangkan isbat atas nubuat, sekaligus sebagai isyarat bahwa untuk mencapai Yang Metafisis sang metafisikus  (arif/gnostikus) dibebani oleh limitasi dan hanya saluran tradisilah yang dapat menghubungkan antara Yang Metafisis dan metafisikus vice versa.

Untuk mendapatkan buku ini, silahkan pesan dengan mengklik tombol dibawah atau tombol diatas, Terima Kasih.


Etika Kesarjanaan

Oktober 18, 2023

 

Etika Kesarjanaan
Etika Kesarjanaan - Oleh : Syihabul Furqon  |  Credit: Nosyrevy

Belakangan ini tiba-tiba beranda laman facebook dipenuhi oleh perdebatan mengasyikan mengenai saintisme dan sains. Tarik ulur penempatan kedudukan dan implikasi istilah ini dipicu oleh tulisan Goenawan Mohammad (GM). Kemudian respons bermunculan, antara lain dari A. S. Laksana, Nirwan Arsuka, Ulil Abshar, Taufiqurrahman, F. Budi Hardiman, F. K. Sitorus, hingga Budhi Munawar dan lain-lain yang belum saya jangkau. Belum lagi respons luaran baik sekadar afirmatif, negatif, atau satir, bahkan argumentum ad hominem. Di tengah pegebluk Cov-19, saya menemukan keasyikan intelektual yang tidak sekadar bernada informatif namun kering kritik, atau sekadar kritik tanpa kedalaman. Diskusi ping-pong ini lain sekali, sebab saya seakan dibawa pada khazanah (percopetan) soal kebenaran. Diskusi belakangan kian teknis, rujukan kian jelas, demarkasi kian ditegakkan, demi kejelasan. Saya hendak ikut juga, dengan gaya seloroh. Ya, itung-itung saya ikut boncengan para empu lah. 

Urutan saya membaca diskusi ini bermula dari tulisan GM. Dalam tulisan GM yang pertama memicu diskusi, saya menemukan tulisan itu mewaspadai satu hal: saintisme. Selanjutnya saya menemukan tulisan Ulil yang nadanya sama: waspada pada kecongkakan saintisme. Saya menemukan tulisan A.S. Laksana, dengan nada membela sains. Pembelaan kemudian dikukuhkan lagi oleh Nirwan Arsuka pada sains, bahkan dengan penekanan dramatis di akhir tulisan. Kemudian ternyata ASL dan Nirwan direspons kembali oleh GM. Kemudian selang beberapa hari saya menemukan tulisan F. Budi Hardiman membawa sejumlah jembatan pada jurang diskusi. Tak lama Budhi Munawar juga memberikan respons dengan membawa diktum dan penjelas-penjelas ihwal distingsi Sains dan Saintisme. 


Sains dan Sikap

Tidak saya pungkiri pagebluk Cov-19 ini memicu soal-soal mendasar. Pertama kita semua mengharapkan sains segera berhasil menemukan vaksin. Sebab kita semua sedang berhadap-hadapan dengan penyakit--bahkan kematian. Tapi setiap kali pertanyaan "kapan sains menghasilkan vaksin?" ini muncul, mau tak mau pikiran saya kembali pada banyak catatan kaki bahwa sains adalah satu hal dan sikap hidup adalah hal lain. Terutama bila kita membayangkan dimensi lain di luar sains, politik misalnya, yang justu kerapkali mengeruhkan ilmu.

Saya apriori bahwa semua yang terlibat diskusi ini memaklumkan satu hal: ilmu pasti adalah satu hal, namun saat ia digunakan ia telah mengandung maksud-maksud. Tulisan F. Budi Hardiman dengan terang menjelaskan pada kita bahwa sains tidak dapat kita maknai secara lurus. Ia bisa bengkok. Terutama bukan karena kebenarannya. Tapi karena manusianya.

Di januari tahun ini, saya menonton serial Netflix berjudul Chernobyl. Tentu saja saya tidak perlu menerangkan Chernobyl itu kejadian apa. Yang pasti ini bukan kejadian ramalan angin-anginan yang menyebut nanti bulan puasa tahun ini (2020) akan ada "dukhon" (asap/rokok?) yang merupakan tanda kiamat. Chernobyl adalah mala yang diakibatkan oleh saintis(me) yang telah bertaut dengan politik. Tak lama setelah saya nonton Chernobyl, di Indonesia, di awal tahun ini (2020) juga ditemukan paparan radiasi nuklir di Tangerang tempo lalu, yang berasal dari limbah nuklir yang ditimbun secara sembrono. Berita ini menyebar melibatkan asumsi-asumsi dan fakta-fakta menarik: konon diperjual belikan, konon sekadar ditimbun, entah apa lagi. Yang jelas: mustahil tukang bakwan (bala-bala) melakukan penimbunan barang di luar jangkauan pengetahuannya. Kalau tukang bakwan ini tahu bahwa harga kol dari petani bisa 40% lebih murah sebelum ia masuk ke pasar, itu wajar sebab ia berurusan dengan komoditas itu. Tapi dari sini kita tahu bahwa pengetahuan adalah satu hal dan praktik adalah hal lain pula. Kita jadi tahu bahwa seringkali persoalan modal (kapital) bisa mempengaruhi pasar secara signifikan, baik untuk harga kol maupun limbah radioaktif. Saya yakin pembaca sekalian tahu ini arahnya ke mana.

Jadi kapan vaksin akan ditemukan? Sekarang kita hanya bisa menjawab dengan was-was. Bersyukur tidak sambil bisik-bisik: andaikata ada intel yang nyamar jadi penyimak diskusi ini sebab manatahu tiba-tiba jadi diskusi pemakzulan presiden (helaw..). Kita was-was sebab sains seringkali telah menjadi lembaga, sebagaimana dipermaklumkan GM dan ia telah jadi sikap saintisme. Kewaspadaan ini bukan tanpa alasan, sebab kita tahu kecenderungan politik Indonesia, sebab kita juga mafhum bagaimana negara-negara modal meregulasi kebijakan melalui PBB--dalam hal ini WHO. Kita tidak bermodalkan ramalan angin-anginan, kita bermodalkan pengalaman (artinya waktu) dan kejadian-kajadian saat kita mewaspadai maksud politik. Maka saat kita bicara sains, kita bicara orang, sikap dan oleh sebab itu mengandung ambivalensi. (Jangan jangan sebenarnya 'kita tak banyak tahu').

Saintis  |  Credit : YummyBuum
Saintis
Saat bicara saintisme, kita menengok penerapan bom atom. Tentu saja kita tak menyalahkan teori kuantum, atau Einstein. Kita mempersoalkan sikap. Umberto Eco bilang "atom-atom kita merasa sedih karena mereka diletakkan di  dalam sebuah bom atom," dalam "Bom dan Sang Jenderal." Atom di sini netral, ia sedih saat kenetralannya dibingkai dalam "makasud" yang mewujud dalam "bom atom."

Maka, sains harus diperiksa. Jangan-jangan ia telah jadi isme, sebagaimana positivisme bermasalah, realitas mekanika newtonian mengkerangkeng pelangi bagi sastrawan, bahkan Darwinisme telah memicu rasisme ilmiah. Lihat, dunia sedang dilanda pagebluk, sementara di Amerika saat ini (Juni 2020) masalah rasisme memicu gelombang akbar protes masal di seantero negeri Tony Stark itu. Saya jadi ingat pernyataan dalam sebuah pengantar untuk novela Machado de Assis berjudul Sang Alienis (kitab terbitan 2019 silam oleh penerbit Trubadur): apa yang terjadi jika ilmu pengetahuan keliru? Novela ini bicara tentang seorang psikolog yang mendiagnosa gering jiwa, yang mengakibatkan semua orang termasuk dirinya (si ilmuwan) juga gering. Novela ini sebuah lelucon pada sesuatu yang kini dapat diyakini serupa Tuhan: sains--yang sikap itu jadi saintisme. Olok-olok ini serupa Sigmund Freud yang mengatakan bahwa orang beragama itu pengidap neurotik--sampai kemudian diketahui bahwa gejala neurotik itu inhern dalam diri manusia, sebab tak ada yang tak bisa dijadikan idol bagi manusia: bahkan pada persamaan. Artinya: Freud neurotik juga. Artinya: "siapa yang gila ketika anda menuduh saya gila sementara anda sendiri gila?" Tapi neurotik tidak dapat secara sembrono diterjemahkan sebagai gila.

Sikap-sikap manusia di hadapan ilmu akan jadi naif bila motifnya bukan kebenaran dan kemaslahatan. Ada etika di sana. Saintis bila hanya dituntun oleh kebenaran--saat mengaplikasikannya--maka ia bisa serupa Thanos: benar tapi tak manusiawi. Memang kita bisa membayangkan manusia dalam benak Thanos itu seperti apa: itu ibaratnya seperti para bajingan, koruptor, politisi busuk, ilmuwan lacur, agamawan lancung dan peminjam uang tapi emoh bayar utang, pengkritik tak tahu diri. Singkatnya katastrofi yang diakibatkan kemanusiaan itu sendiri. Thanos jangan-jangan juga adalah kita. Tapi saya bahas Thanos sampai sini saja dulu, sebab gara-gara pagebluk ini film-film baru diundur jadwal tayangnya. No time for die, babe...


Sains-Agama

Sayangnya, diskusi agama yang sering disinggung dan dikenal umum adalah agama dalam gema teologis (kalam), dan yurisprudensi (fiqh). Seringkali luput melibatkan agama dalam kedudukannya sebagai sains sakral (dalam spektrum philosophia perennis/al-hikmah al-khalidah) atau secara umum dikenal sebagai sufisme.

Diskusi agama dalam nuansa teologis, adalah diskusi yang melibatkan kekuasaan, dan berdarah. Tidak hanya dalam relasi antar iman, melainkan antar mazhab, sektarianisme. Ulil telah memaparkan hal ini. Di pihak Kristen juga demikian, dan ini mungkin yang kerap menjadi patokan friksi sains-agama. Terutama saat inkuisisi bagaikan 'teleskrin' dalam sensor alegoris Orwell di 1984.

Sekalipun sejarah teologi dalam Islam seringkali disinonimkan dengan Eropa abad pertengahan, intinya sama, teologi yang bertaut sedikit banyak dengan filsafat memunculkan sejumlah soal yang tidak selesai sekadar oleh proposisi, melainkan oleh kuasa. Dengan besi dan timah. Dalam soal ini kita dapat melihat gejala dan fakta melalui "Munqidz min al-Dhalal", dimana Al-Ghazali mengungkap betapa sengitnya para teolog bertarung, termasuk dirinya, yang saat melakukan hal itu seringkali motifnya adalah popularitas, sebagaimana disesali Al-Ghazali sendiri.

Etika Kesarjanaan - Al Ghazali
Al - Ghazali
Dalam Islam, periode Al-Ghazali adalah periode tikungan tajam yang dimenangkan oleh teologi dalam bingkai kekuasaan. Peripatetisme Islam yang diwakili Ibn Sina, dianggap mati. Ilmu dianggap kalah oleh Iman. Padahal sekadar permainan patronase kekuasaan pada mazhab teologi tertentu. Kawan diskusi Al-Ghazali sendiri, Umar Khayyam, toh adalah seorang peripatetik dan saintis ulung. Dua orang ini bekerja di bawah lembaga berbeda tapi dari satu kekuasaan: Wazir Nizamul Mulk. Bedanya Al-Ghazali menempati posisi rektor An Nizam dan menjadi otoritas teologi (sampai ia meninggalkan jabatan ini). Sementara Umar Khayyam menempati laboratorium astronomi dan mengepalai para saintis untuk merevisi kalendar Persia. Khayyam dan timnya berhasil merevisi kalendar Jalali yang hingga kini digunakan. Artinya di aras teoritik, perselisihan paling banter sekadar ad hominem sebagaimana yang dilakukan banyak penulis saat melancarkan kritik. Tidak lebih sekadar gimik untuk menarik perhatian dan perdebatan. 

Pada level praktik? Mari kita lihat Ibn Sina. Oleh Al-Ghazali, dalam Tahaful Al Falasifah, antara lain Ibn Sina dianggap sesat, bahkan pemikirannya dikafirnya. Tulisan Al-Ghazali ini bernuansa argumentum ad hominem sangat kental sekali, sebab ia sedang hendak mencari perhatian. Tidak tanggung-tanggung, filsuf yang diserangnya Ibn Sina serta Al-Aristu (Aristoteles). Tapi ini sekadar mencari perhatian: sekalipun ada beberapa poin yang memang patut diperhatikan dari kritik Al-Ghazai. Pada faktanya, Ibn Sina sendiri seorang ahli dalam kontemplasi batin. Hal ini tampak dari otobiografinya yang disertakan dalam pengantar kitabnya An-Najat. Saat menemui kebuntuan dalam persoalan medis maupun filsafat, Ibn Sina selalu melaksanakan salat dua rakaat dan seringkali dalam salat itulah jawaban-jawaban ditemukan. 

A. J. Arberry, dalam Avicenna on Theology, memaparkan bahwa sekalipun Ibn Sina dituduh pembidah, kehidupannya didasarkan pada fakta bahwa ia adalah seorang yang taat beribadah. Bila kita periksa lebih jauh, terutama pada karya paling belakang, Ibn Sina memberikan pijakan pada semacam Mistisisme Filosofis. Seyyed Hossein Nasr memberikan semacam anasir pada kita bahwa dalam Manthiq Al-Masyriqiyyin (Logika orang-orang timur), Ibn Sina sedang merintis jalan pada scientia sacra (al hikmah al khalidah). Saya sendiri menemukan jalan pada sains sakral dalam Ibn Sina melalui kitab ringkasan As-Syifa (ini merupakan kitab filsafat Ibn Sina yang sering dikelirukan dengan kitab kedokterannya Qanun fi At-Thib): Al-Isyarat wa at-Tanbihat (Remarks and Admonitions). Kitab ini berdurasi empat jilid memuat antara lain: Jilid satu bicara logika, dua bicara fisika, tiga metafisika dan empat mistisisme. Saya sedang mengupayakan terjemahan lengkap kitab ini dalam salah satu seri filsafat dan sains sakral, sudah dimulai dari kitab Khayyam, Fi Al-Jabr wa Al-Muqabala (Ihwal Al Jabar dan Persamaan, 2019) dan akan menyusul kitab Al-Kindi, Fi Al-Falsafah Al-Ula (Mengenai Filsafat Pertama) dan empat jilid kitab Isyarat, Ibn Sina (mayan promosi ini oiiiii). Nah dalam jilid empat itulah Ibn Sina dengan jelas memasukkan epistemologi sakral dalam dua bab terakhir berjudul "fi maqamatil arifin" (ihwal kedudukan-kedudukan spiritual para arif). Jadi serangan Al-Ghazali sekadar parsial dan meleset jauh dari aspek substansial. Pengkaji filsafat Islam tahu betul di mana letak kekeliruan Al-Ghazali dan di mana kelemahan Ibn Sina, seraya dapat membantah bahwa dalam Islam filsafat tidak mati.

Hanya orang-orang jumud (nan kurung batokeun) kurang piknik, yang menyebut filsafat (termasuk sains) mati dibunuh Al-Ghazali.

Demikian pula bila kita bicara agama (Islam) dalam perspektif yurisprudensi (fiqh). Kita tak perlu naif untuk tidak mengatakan bahwa hukum positif sangat erat hubungannya dengan kekuasaan. Spiritualis, Bambang Q. Anees memaklumkan bahwa fiqh adalah fiqh pemenang. Artinya ini macam sejarah: ia ditulis pemenang. Lihat saja betapa isu-isu kacangan macam Bahaya Laten PKI, Mamarika, Wahyudi, Free Mesen (pulang bayar), masih laku, masih bisa jadi teror, masih bisa jadi joban buzzer. Teoritikus konspirasi (wkwowkwowkwok) bahkan meyakini Cov-19 adalah senjata Komunis hanya karena ia berawal dari China, untuk menggungcang tatanan ekonomi global demi terciptanya tatanan masyarakat tanpa kelas. Lanturan ini direspons oleh meme teman-teman filsafat: 
A "Bro, sosialisme menang. Marx berhasil!?"
B "Lha, kok bisa?"
A "Iya soalnya kita sekarang para pelajar nggak masuk kelas."
B "krik-krik-krik-krik..."


Etika Kesarjanaan
Dalam diskusi soal sains dan saintisme, sejak awal saya hanya menyoriti satu hal: hilangnya etika kesarjanaan. Etika kesarjanaan ini penting digaris bawahi, dijadikan kampanye, dibuatkan baligo, disebar ke mana-mana. Tanpa ini, yang muncul adalah arogansi intelektual.

wama taufiqi illa billah...

Syihabul Furqon
Juni 2020
 
Copyright © Penerbit YAD. Designed by OddThemes