/a/
KITAB PENYEMBUHAN (As-Syifa’/Sufficientia), Ibn Sina (Avicenna): Ilahiah (Metafisika), merupakan kitab magnum opus dalam domain filsafat Islam Peripatetik. Ditulis oleh Seikh Rais dengan corak integrasi pelbagai doktrin hikmah/falsafah (philosophia) dalam arti tradisionalnya. Sebagaimana dalam tradisi filsafat tradisional yang berakar pada nubuat, kitab ini memberikan isbat yang mengikat dengan nuansa proposisi ketat distingsi antara kutub-kutub domain Wujud Wajib dan Wujud Mungkin. Bagaimana Yang Wajib niscaya Esa (Singular), dan bagaimana darinya melimpah Maujudat (eksisten-eksisten) dalam drama kosmik penurunan bertahap dengan seluruh had, daya, akal, serta jiwa sampai pada titik tolak kembali dalam kenaikan bertahap melalui poros gravitasi cinta dan kerinduan atas Yang Sempurna lagi Wajib. Dengan cara saksama juga diterangkan isbat atas nubuat, sekaligus sebagai isyarat bahwa untuk mencapai Yang Metafisis sang metafisikus (arif/gnostikus) dibebani oleh limitasi dan hanya saluran tradisilah yang dapat menghubungkan antara Yang Metafisis dan metafisikus vice versa.
Dalam banyak kesempatan penerjemah telah mengupayakan suatu tilikan dari dalam dan tidak akan mengulangi isbat apa pun sekali lagi di sini terkait domain ini. Dalam Kitab Penyembuhan (Makalah Pertama) ini dijelaskan alasan Ibn Sina mengajukan istilah “Ilahiah” sebagai pengganti Ma Ba’da Thabi’ah dan bagaimana metafisika sebagai subjek ilmu universal berfusi dengan doktrin. Bauran ini menciptakan apa yang kemudian jadi corak “metafisika sebagai doktrin”. Faktanya, bukan mana lebih dahulu antara doktrin dan metafisika. Dilihat dari arah al-hikmah al-khalidah (philosophia perennis) titik-titik hikmah dalam bentuk apa pun adalah hikmah dan merupakan sikap yang fatal jika dari titik ini orang terjebak pada formalisme tertentu sekalipun formalisme tertentu dibutuhkan di mana-mana bahkan dalam filsafat.
|
Filsafat Islam |
Filsafat Islam yang hidup, sekali lagi, melalui pena Ibn Sina dalam banyak para arif lain sampai hari ini, telah menyeberangkan doktrin yang dapat direnungkan secara falsafi—dan sebaliknya, menyeberangkan subjek tertentu dari tradisi filsafat untuk jadi jembatan menuju doktrin. Ini pulalah yang menjadi salah satu alasan mengapa metafisika hanya hidup—dalam maknanya yang sejati, menurut al-hikmah al-khalidah—dalam tradisi. Agama, atau agama-agama senantiasa membawa serta, atau mempertahankan metafisika (atau boleh juga sebaliknya metafisika jadi dasar) dalam pelbagai bentuknya. Dalam mode Islam, metafisika hidup sebagai diskursus Ilahiah; dan tentu saja diskursus ini bukan tidak dipermasalahkan kalangan agamawan tertentu. Namun, faktnya, Hikmah Ilahiah menjadi fondasi munculnya mazhab serupa Isyraqiy/Iluminasi (Suhrawardi) yang berestafet terus sampai Hikmah Muta’aliyyah (Shadra) sampai Haji Mula Hadi Sabzawari dua abad silam dan sekarang berlanjut ke tangan hakim-hakim serupa Nasr, Baqir, Al-Attas dan banyak lainnya di Indonesia yang tinggal menunggu waktunya muncul ke permukaan. Dalam mode lain, metafisika hidup dalam Thomisme (barangkali juga Neo-Thomisme), dan banyak hikmah Timur lain hingga yang bernuansa lokal. Metafisika, atau apa pun nama yang mewakili representasi yang tak terperi, bagai embus angin bergerak ke manapun kehendak Sang Napas menggiringnya.
Selama metafisika ada doktrin terjaga, dan selama doktrin terjaga metafisika akan ada. Karena itu, barangkali orang akan berhasil melacak metafisika sekadar sebagai fakta tekstual sampai Aristoteles, tapi keberhasilan itu juga mestinya menghasilkan rongga lain yang menganga lebih besar, yakni metafisika sebagai realitas yang jejaknya ada di mana-mana namun sekaligus tersamar, dan karena sifat samarnya itu entah berapa banyak yang luput dari perhatian. Sekalipun demikian, karena sifat subjek ini bersifat kulli/universal, keterhubungannya dengan jejak metafisika yang lain senantiasa tersedia.
Metafisika mestilah integral, sebab menapaki satu jalan (metafisis) adalah menapaki seluruh jalan, sebagaimana benar menyelamatkan satu manusia sama bernilainya dengan menyelamatkan seluruh manusia. Mengatakan bahwa pandangan seperti ini adalah sejenis sinkretisme tidak lain menunjukkan kepandiran metafisis sendiri. Dari arah sini, substansi-substansi takkan tertukar dengan aksiden dan pada puncaknya simbiosis mahiyah/kuiditas dan wujud/eksistensi dalam mode paling pastinya dapat menerangi (sebagaimana judul kitab ini yang adalah Penyembuhan) bagi kebingungan asali manusia akan asal-usul yang adalah Sang Mutlak yang Wajib yang Wujud dan Singular. Lantas apa yang menyebabkan manusia mengidap ketidakmampuan (impotensi) dalam menangkap realitas esensial jika bukan penyangkalan-penyangkalannya sendiri atas kemampuan dan kapasitas dirinya sendiri? Sampai di sini, kalam apa pun semestinya telah memadai.
/z/
Ditinjau dari dalam, metafisika pada dirinya sendiri adalah ‘sesuatu yang tak terbahasakan’ atau menggunakan istilah yang disepakati Schuon dan Guenon: tak manifes (unmanifest). Artinya diskursus ini telah selesai bahkan sebelum dimulai. Tapi tidak jika dilihat dari realitas yang bergerak dan kontingen. Dimensi ruang dan waktu membawa senantiasa alusi pada asal-usul dan melacak ini artinya ‘mundur ke belakang’ dan ‘melacak prinsip’. Mundur dan mencari prinsip akan membawa orang pada, sekali lagi, metafisika, atau sekurang-kurangnya tapal batas antara yang fisik beserta seluruh derivasi ruang dan waktunya dengan yang melampaui semua manifes maujudat ini.
Sekarang jika ditinjau kembali, metafisika mestinya tidak dapat secara persis atau tidak akan pernah cukup membahasakan yang metafisis pada dirinya sendiri yang diselimuti oleh misteri mutlak. Misteri mutlak ini, saat dilacak dengan perangkat yang mumkin, atau yang kontingen, membawa orang pada koordinat yang disebut sebagai ‘wujud’. Anatomi wujud/ada/eksistensi merupakan tapal batas antara yang metafisis dalam domain universalnya dengan penciptaan realitas eksternal. Inilah kontak antara yang tak manifes dengan yang manifes dan para Arif, Hakim serta Mutakallim berlomba menarik dari satu titik diakritik—yang adalah wujud—ke pelbagai manifestasi eksternal. Sekaligus pada saat yang sama meninggalkan misteri total Wujud Wajib/Eksistensi Niscaya/Wujud Niscaya pada dirinya sendiri. Wujud Niscaya pada dirinya sendiri, bagaimanapun, tidak bisa tidak lengkap dan pada akhirnya tidak akan pernah memadai diberi nisbat kecuali isbat yang mengikat bahwa Ia singular (Esa), tak tepermanai, dan bahasa bahkan silogisme takkan pernah memadai mencapainya. Ini adalah ranah yang hanya sedikit orang diberi keberkahan dapat memahami dengan cara ketidakmampuannya untuk memahami. Ini pula ranah yang mana agama-agama banyak bicarakan sebab sifatnya yang mutlak dan merupakan asal-usul: juga merupakan ranah kembali yang tak dapat dielakkan. Quran menyinggung ini sebagai: inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.
Di tingkat ontologis, lebih tepatnya, saat Wujud Wajib ini diturunkan ke dalam kerangka manifestasi kosmologis, secara otomatis ada paradoks yang menyertai. Wujud dibedakan dari Kuiditas (mahiyyah) sejauh dalam kategori penunjuk. Antara kedua prinsip ini, perdebatan panjang dapat ditarik: (a) mereka yang menegaskan asas Wujud, dan (b) mereke yang menegaskan asas Kuiditas. Pada tingkat realitas eksternal, kedua distingsi ini sangat jelas; yang mana kejelasannya muncul dari limitasi materi. Siapapun yang mengatakan Kuda secara otomatis dalam waham orang itu terimprintasi dua hal: “sifat-sifat kategoris yang membuat kuda itu kuda dan beda dengan yang lain” dan sekaligus “wujud jisim kuda”. Di sini tidak ada hambatan berarti. Namun lain soal jika orang, saat mencari asas dan asal-usul realitas dan berujung pada satu asumsi bahwa ada satu hal, mestilah hal itu wujud/ada, dan mestilah sesuatu itu adalah prinsip untuk semua. Namun dalam pelacakan teleologis regresif—sejak bahwa realitas ditangkap sebagai sehimpun aksiden-aksiden kontinu yang mestilah aksiden-aksiden ini bersumber dari substansi sebab tertentu (ar: jauhar-arad)—orang harus menegaskan distingsi yang mutlak yang ditunjuk sebagai Wujud Wajib di satu sisi dan wujud nisbi atau wujud mungkin.
Wujud Wajib, saat coba dikategorikan, mesti tidak memiliki kategori; demikian pula saat dia dimasukkan dalam satu himpun genus tertentu tidak akan bisa, atau apalagi dikelompokkan berdasarkan spesies. Sebab saat semua upaya kategori ini dilakukan, semuanya akan berujung pada paradoks yang mustahil. Dengan demikian Wujud Wajib nirkategori. Namun apa yang dapat mendefinisikan dirinya? Kediaannya. Dalam hal ini disebut kuiditas (mahiyyah). Kembali pada soal prinsip. Jika Wujud Wajib mestilah bersanding dengan Kuiditasnya, maka di antara dua ini mana yang prinsip? Karena menentukan ini orang akan dibawa pada penetapan prioritas dan posterioritas dengan implikasinya masing-masing.
|
Filsafat Islam |
Ibn Sina, sekalipun banyak mendasarkan filsafat/hikmahnya pada anatomi wujud; bagaimanapun mempercayai bahwa suatu wujud tidak akan pernah merupakan wujud tanpa kuiditasnya. Ada semacam dukungan dalam pandangan Ibn Sina pada keasasian kuiditas. Bagaimanapun pandangan ini sejalan dengan banyak kalangan lain seperti Suhrawardi dan bahkan kalangan Mutakallim tertentu. Tapi pandangan ini bukan tanpa hambatan. Terutama, jika kembali pada soal di atas, bahwa saat Wujud pada dirinya sendiri ditangkap waham seseorang, perbedaan antara wujud pada dirinya sendiri dengan kuditasnya menjadi kabur. Wujud pada dirinya sendiri menjadi semata objek makulat dan karena itu terbuka pada kekaburan yang coba ditangkap fakultas epistemologi manusia. Distingsinya menjadi sekabur apakah di antara wujud dan kuiditas bisa dipisahkan sejelas perbedaan antara wujud dan kuiditas kuda seperti contoh di atas, atau justru tidak ada perbedaan antara wujud dan kuiditasnya.
Ditinjau secara metafisis murni, tidak masalah mana yang jadi prinsip sejak bahwa wujud dan kuiditas merupakan salah satu term dari banyak term yang karena sifat term itu sendiri membatasi akan tidak memadai dalam menunjuk secara pasti apa yang hendak ditunjuknya yang adalah prinsip segala (mumkin al-kull) yang juga berarti Ia Yang Tak Terperi. Sekalipun demikian dalam diskursus filsafat Islam, menunjuk secara proposisional wujud atau mahiyah sama pentingnya dengan memberikan markah pada jalan. Tentu saja tidak ada masalah di ranah metafisis. Pasalnya saat realitas itu harus diperikan, maka itu harus diperikan dengan isbat paling kuat dan proposisi paling berisi yang tidak meninggalkan keraguan. Upaya ini merupakan jalan burhan. Saat realitas itu diperikan, maka pemeriannya sama pentingnya dengan memberi marka pada jalan; rambu-rambu harus sejelas dan selaras bentang jalan, jika tidak maka bukan saja orang tidak akan menemukan isyarat yang jelas dari realitas segala, sumbu segala realitas, melainkan akan terlempar dari pusat realitas dan pada gilirannya akan menganggap tidak pernah ada jalan sebagaimana mulai lazim bahwa tidak pernah ada metafisika, atau agama yang memuat markah ke arah metafisika, atau bahkan Tuhan.
Tak kalah menarik untuk dicatat, dari sisi metafisis, karena tidak ada distingsi substansi dan aksiden, maka tidak ada aksiden-aksiden dan substansi-substansi. Di balik itu potensi jadi tiada dan antara satu akibat dengan sebabnya akan terputus. Orang, di titik ini dapat mengatakan dari sisi metafisis tidak pernah ada aksiden—atau bahkan kebetulan. Jika semua aksiden tidak ada yang tersisa adalah semuanya dalam realitas eksternal adalah ‘keselesaian’ dalam ‘proses’ atau ‘proses’ yang sesungguhnya ‘telah selesai’. Dalam Islam, salah satu inti dari tauhid tampak dari sikap tawakal. Suatu etika religius yang menandai hubungan antara manusia yang nisbi dengan Allah sebagai Yang Mutlak. […]
Penulis : Syihabul Furqon
Darmaraja-Sumedang
Rabi’u Tsaniah 1445
Sumedang 2023