Etika Kesarjanaan

 

Etika Kesarjanaan
Etika Kesarjanaan - Oleh : Syihabul Furqon  |  Credit: Nosyrevy

Belakangan ini tiba-tiba beranda laman facebook dipenuhi oleh perdebatan mengasyikan mengenai saintisme dan sains. Tarik ulur penempatan kedudukan dan implikasi istilah ini dipicu oleh tulisan Goenawan Mohammad (GM). Kemudian respons bermunculan, antara lain dari A. S. Laksana, Nirwan Arsuka, Ulil Abshar, Taufiqurrahman, F. Budi Hardiman, F. K. Sitorus, hingga Budhi Munawar dan lain-lain yang belum saya jangkau. Belum lagi respons luaran baik sekadar afirmatif, negatif, atau satir, bahkan argumentum ad hominem. Di tengah pegebluk Cov-19, saya menemukan keasyikan intelektual yang tidak sekadar bernada informatif namun kering kritik, atau sekadar kritik tanpa kedalaman. Diskusi ping-pong ini lain sekali, sebab saya seakan dibawa pada khazanah (percopetan) soal kebenaran. Diskusi belakangan kian teknis, rujukan kian jelas, demarkasi kian ditegakkan, demi kejelasan. Saya hendak ikut juga, dengan gaya seloroh. Ya, itung-itung saya ikut boncengan para empu lah. 

Urutan saya membaca diskusi ini bermula dari tulisan GM. Dalam tulisan GM yang pertama memicu diskusi, saya menemukan tulisan itu mewaspadai satu hal: saintisme. Selanjutnya saya menemukan tulisan Ulil yang nadanya sama: waspada pada kecongkakan saintisme. Saya menemukan tulisan A.S. Laksana, dengan nada membela sains. Pembelaan kemudian dikukuhkan lagi oleh Nirwan Arsuka pada sains, bahkan dengan penekanan dramatis di akhir tulisan. Kemudian ternyata ASL dan Nirwan direspons kembali oleh GM. Kemudian selang beberapa hari saya menemukan tulisan F. Budi Hardiman membawa sejumlah jembatan pada jurang diskusi. Tak lama Budhi Munawar juga memberikan respons dengan membawa diktum dan penjelas-penjelas ihwal distingsi Sains dan Saintisme. 


Sains dan Sikap

Tidak saya pungkiri pagebluk Cov-19 ini memicu soal-soal mendasar. Pertama kita semua mengharapkan sains segera berhasil menemukan vaksin. Sebab kita semua sedang berhadap-hadapan dengan penyakit--bahkan kematian. Tapi setiap kali pertanyaan "kapan sains menghasilkan vaksin?" ini muncul, mau tak mau pikiran saya kembali pada banyak catatan kaki bahwa sains adalah satu hal dan sikap hidup adalah hal lain. Terutama bila kita membayangkan dimensi lain di luar sains, politik misalnya, yang justu kerapkali mengeruhkan ilmu.

Saya apriori bahwa semua yang terlibat diskusi ini memaklumkan satu hal: ilmu pasti adalah satu hal, namun saat ia digunakan ia telah mengandung maksud-maksud. Tulisan F. Budi Hardiman dengan terang menjelaskan pada kita bahwa sains tidak dapat kita maknai secara lurus. Ia bisa bengkok. Terutama bukan karena kebenarannya. Tapi karena manusianya.

Di januari tahun ini, saya menonton serial Netflix berjudul Chernobyl. Tentu saja saya tidak perlu menerangkan Chernobyl itu kejadian apa. Yang pasti ini bukan kejadian ramalan angin-anginan yang menyebut nanti bulan puasa tahun ini (2020) akan ada "dukhon" (asap/rokok?) yang merupakan tanda kiamat. Chernobyl adalah mala yang diakibatkan oleh saintis(me) yang telah bertaut dengan politik. Tak lama setelah saya nonton Chernobyl, di Indonesia, di awal tahun ini (2020) juga ditemukan paparan radiasi nuklir di Tangerang tempo lalu, yang berasal dari limbah nuklir yang ditimbun secara sembrono. Berita ini menyebar melibatkan asumsi-asumsi dan fakta-fakta menarik: konon diperjual belikan, konon sekadar ditimbun, entah apa lagi. Yang jelas: mustahil tukang bakwan (bala-bala) melakukan penimbunan barang di luar jangkauan pengetahuannya. Kalau tukang bakwan ini tahu bahwa harga kol dari petani bisa 40% lebih murah sebelum ia masuk ke pasar, itu wajar sebab ia berurusan dengan komoditas itu. Tapi dari sini kita tahu bahwa pengetahuan adalah satu hal dan praktik adalah hal lain pula. Kita jadi tahu bahwa seringkali persoalan modal (kapital) bisa mempengaruhi pasar secara signifikan, baik untuk harga kol maupun limbah radioaktif. Saya yakin pembaca sekalian tahu ini arahnya ke mana.

Jadi kapan vaksin akan ditemukan? Sekarang kita hanya bisa menjawab dengan was-was. Bersyukur tidak sambil bisik-bisik: andaikata ada intel yang nyamar jadi penyimak diskusi ini sebab manatahu tiba-tiba jadi diskusi pemakzulan presiden (helaw..). Kita was-was sebab sains seringkali telah menjadi lembaga, sebagaimana dipermaklumkan GM dan ia telah jadi sikap saintisme. Kewaspadaan ini bukan tanpa alasan, sebab kita tahu kecenderungan politik Indonesia, sebab kita juga mafhum bagaimana negara-negara modal meregulasi kebijakan melalui PBB--dalam hal ini WHO. Kita tidak bermodalkan ramalan angin-anginan, kita bermodalkan pengalaman (artinya waktu) dan kejadian-kajadian saat kita mewaspadai maksud politik. Maka saat kita bicara sains, kita bicara orang, sikap dan oleh sebab itu mengandung ambivalensi. (Jangan jangan sebenarnya 'kita tak banyak tahu').

Saintis  |  Credit : YummyBuum
Saintis
Saat bicara saintisme, kita menengok penerapan bom atom. Tentu saja kita tak menyalahkan teori kuantum, atau Einstein. Kita mempersoalkan sikap. Umberto Eco bilang "atom-atom kita merasa sedih karena mereka diletakkan di  dalam sebuah bom atom," dalam "Bom dan Sang Jenderal." Atom di sini netral, ia sedih saat kenetralannya dibingkai dalam "makasud" yang mewujud dalam "bom atom."

Maka, sains harus diperiksa. Jangan-jangan ia telah jadi isme, sebagaimana positivisme bermasalah, realitas mekanika newtonian mengkerangkeng pelangi bagi sastrawan, bahkan Darwinisme telah memicu rasisme ilmiah. Lihat, dunia sedang dilanda pagebluk, sementara di Amerika saat ini (Juni 2020) masalah rasisme memicu gelombang akbar protes masal di seantero negeri Tony Stark itu. Saya jadi ingat pernyataan dalam sebuah pengantar untuk novela Machado de Assis berjudul Sang Alienis (kitab terbitan 2019 silam oleh penerbit Trubadur): apa yang terjadi jika ilmu pengetahuan keliru? Novela ini bicara tentang seorang psikolog yang mendiagnosa gering jiwa, yang mengakibatkan semua orang termasuk dirinya (si ilmuwan) juga gering. Novela ini sebuah lelucon pada sesuatu yang kini dapat diyakini serupa Tuhan: sains--yang sikap itu jadi saintisme. Olok-olok ini serupa Sigmund Freud yang mengatakan bahwa orang beragama itu pengidap neurotik--sampai kemudian diketahui bahwa gejala neurotik itu inhern dalam diri manusia, sebab tak ada yang tak bisa dijadikan idol bagi manusia: bahkan pada persamaan. Artinya: Freud neurotik juga. Artinya: "siapa yang gila ketika anda menuduh saya gila sementara anda sendiri gila?" Tapi neurotik tidak dapat secara sembrono diterjemahkan sebagai gila.

Sikap-sikap manusia di hadapan ilmu akan jadi naif bila motifnya bukan kebenaran dan kemaslahatan. Ada etika di sana. Saintis bila hanya dituntun oleh kebenaran--saat mengaplikasikannya--maka ia bisa serupa Thanos: benar tapi tak manusiawi. Memang kita bisa membayangkan manusia dalam benak Thanos itu seperti apa: itu ibaratnya seperti para bajingan, koruptor, politisi busuk, ilmuwan lacur, agamawan lancung dan peminjam uang tapi emoh bayar utang, pengkritik tak tahu diri. Singkatnya katastrofi yang diakibatkan kemanusiaan itu sendiri. Thanos jangan-jangan juga adalah kita. Tapi saya bahas Thanos sampai sini saja dulu, sebab gara-gara pagebluk ini film-film baru diundur jadwal tayangnya. No time for die, babe...


Sains-Agama

Sayangnya, diskusi agama yang sering disinggung dan dikenal umum adalah agama dalam gema teologis (kalam), dan yurisprudensi (fiqh). Seringkali luput melibatkan agama dalam kedudukannya sebagai sains sakral (dalam spektrum philosophia perennis/al-hikmah al-khalidah) atau secara umum dikenal sebagai sufisme.

Diskusi agama dalam nuansa teologis, adalah diskusi yang melibatkan kekuasaan, dan berdarah. Tidak hanya dalam relasi antar iman, melainkan antar mazhab, sektarianisme. Ulil telah memaparkan hal ini. Di pihak Kristen juga demikian, dan ini mungkin yang kerap menjadi patokan friksi sains-agama. Terutama saat inkuisisi bagaikan 'teleskrin' dalam sensor alegoris Orwell di 1984.

Sekalipun sejarah teologi dalam Islam seringkali disinonimkan dengan Eropa abad pertengahan, intinya sama, teologi yang bertaut sedikit banyak dengan filsafat memunculkan sejumlah soal yang tidak selesai sekadar oleh proposisi, melainkan oleh kuasa. Dengan besi dan timah. Dalam soal ini kita dapat melihat gejala dan fakta melalui "Munqidz min al-Dhalal", dimana Al-Ghazali mengungkap betapa sengitnya para teolog bertarung, termasuk dirinya, yang saat melakukan hal itu seringkali motifnya adalah popularitas, sebagaimana disesali Al-Ghazali sendiri.

Etika Kesarjanaan - Al Ghazali
Al - Ghazali
Dalam Islam, periode Al-Ghazali adalah periode tikungan tajam yang dimenangkan oleh teologi dalam bingkai kekuasaan. Peripatetisme Islam yang diwakili Ibn Sina, dianggap mati. Ilmu dianggap kalah oleh Iman. Padahal sekadar permainan patronase kekuasaan pada mazhab teologi tertentu. Kawan diskusi Al-Ghazali sendiri, Umar Khayyam, toh adalah seorang peripatetik dan saintis ulung. Dua orang ini bekerja di bawah lembaga berbeda tapi dari satu kekuasaan: Wazir Nizamul Mulk. Bedanya Al-Ghazali menempati posisi rektor An Nizam dan menjadi otoritas teologi (sampai ia meninggalkan jabatan ini). Sementara Umar Khayyam menempati laboratorium astronomi dan mengepalai para saintis untuk merevisi kalendar Persia. Khayyam dan timnya berhasil merevisi kalendar Jalali yang hingga kini digunakan. Artinya di aras teoritik, perselisihan paling banter sekadar ad hominem sebagaimana yang dilakukan banyak penulis saat melancarkan kritik. Tidak lebih sekadar gimik untuk menarik perhatian dan perdebatan. 

Pada level praktik? Mari kita lihat Ibn Sina. Oleh Al-Ghazali, dalam Tahaful Al Falasifah, antara lain Ibn Sina dianggap sesat, bahkan pemikirannya dikafirnya. Tulisan Al-Ghazali ini bernuansa argumentum ad hominem sangat kental sekali, sebab ia sedang hendak mencari perhatian. Tidak tanggung-tanggung, filsuf yang diserangnya Ibn Sina serta Al-Aristu (Aristoteles). Tapi ini sekadar mencari perhatian: sekalipun ada beberapa poin yang memang patut diperhatikan dari kritik Al-Ghazai. Pada faktanya, Ibn Sina sendiri seorang ahli dalam kontemplasi batin. Hal ini tampak dari otobiografinya yang disertakan dalam pengantar kitabnya An-Najat. Saat menemui kebuntuan dalam persoalan medis maupun filsafat, Ibn Sina selalu melaksanakan salat dua rakaat dan seringkali dalam salat itulah jawaban-jawaban ditemukan. 

A. J. Arberry, dalam Avicenna on Theology, memaparkan bahwa sekalipun Ibn Sina dituduh pembidah, kehidupannya didasarkan pada fakta bahwa ia adalah seorang yang taat beribadah. Bila kita periksa lebih jauh, terutama pada karya paling belakang, Ibn Sina memberikan pijakan pada semacam Mistisisme Filosofis. Seyyed Hossein Nasr memberikan semacam anasir pada kita bahwa dalam Manthiq Al-Masyriqiyyin (Logika orang-orang timur), Ibn Sina sedang merintis jalan pada scientia sacra (al hikmah al khalidah). Saya sendiri menemukan jalan pada sains sakral dalam Ibn Sina melalui kitab ringkasan As-Syifa (ini merupakan kitab filsafat Ibn Sina yang sering dikelirukan dengan kitab kedokterannya Qanun fi At-Thib): Al-Isyarat wa at-Tanbihat (Remarks and Admonitions). Kitab ini berdurasi empat jilid memuat antara lain: Jilid satu bicara logika, dua bicara fisika, tiga metafisika dan empat mistisisme. Saya sedang mengupayakan terjemahan lengkap kitab ini dalam salah satu seri filsafat dan sains sakral, sudah dimulai dari kitab Khayyam, Fi Al-Jabr wa Al-Muqabala (Ihwal Al Jabar dan Persamaan, 2019) dan akan menyusul kitab Al-Kindi, Fi Al-Falsafah Al-Ula (Mengenai Filsafat Pertama) dan empat jilid kitab Isyarat, Ibn Sina (mayan promosi ini oiiiii). Nah dalam jilid empat itulah Ibn Sina dengan jelas memasukkan epistemologi sakral dalam dua bab terakhir berjudul "fi maqamatil arifin" (ihwal kedudukan-kedudukan spiritual para arif). Jadi serangan Al-Ghazali sekadar parsial dan meleset jauh dari aspek substansial. Pengkaji filsafat Islam tahu betul di mana letak kekeliruan Al-Ghazali dan di mana kelemahan Ibn Sina, seraya dapat membantah bahwa dalam Islam filsafat tidak mati.

Hanya orang-orang jumud (nan kurung batokeun) kurang piknik, yang menyebut filsafat (termasuk sains) mati dibunuh Al-Ghazali.

Demikian pula bila kita bicara agama (Islam) dalam perspektif yurisprudensi (fiqh). Kita tak perlu naif untuk tidak mengatakan bahwa hukum positif sangat erat hubungannya dengan kekuasaan. Spiritualis, Bambang Q. Anees memaklumkan bahwa fiqh adalah fiqh pemenang. Artinya ini macam sejarah: ia ditulis pemenang. Lihat saja betapa isu-isu kacangan macam Bahaya Laten PKI, Mamarika, Wahyudi, Free Mesen (pulang bayar), masih laku, masih bisa jadi teror, masih bisa jadi joban buzzer. Teoritikus konspirasi (wkwowkwowkwok) bahkan meyakini Cov-19 adalah senjata Komunis hanya karena ia berawal dari China, untuk menggungcang tatanan ekonomi global demi terciptanya tatanan masyarakat tanpa kelas. Lanturan ini direspons oleh meme teman-teman filsafat: 
A "Bro, sosialisme menang. Marx berhasil!?"
B "Lha, kok bisa?"
A "Iya soalnya kita sekarang para pelajar nggak masuk kelas."
B "krik-krik-krik-krik..."


Etika Kesarjanaan
Dalam diskusi soal sains dan saintisme, sejak awal saya hanya menyoriti satu hal: hilangnya etika kesarjanaan. Etika kesarjanaan ini penting digaris bawahi, dijadikan kampanye, dibuatkan baligo, disebar ke mana-mana. Tanpa ini, yang muncul adalah arogansi intelektual.

wama taufiqi illa billah...

Syihabul Furqon
Juni 2020

Share this:

Posting Komentar

 
Copyright © Penerbit YAD. Designed by OddThemes